Pages

MN 146: Nandakovāda Sutta [ Nasihat dari Nandaka]

Majjhima Nikāya


Nandakovāda Sutta


Nasihat dari Nandaka


Di terjemahkan dari pāḷi ke inggris oleh Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi

Di terjemahkan dari inggris ke indonesia oleh Dhammacita

Nara Sumber pāḷi

MN 145 MN 146 MN 147


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī bersama dengan lima ratus bhikkhunī mendatangi Sang bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menasihati para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan instruksi kepada para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī.”
3. Pada saat itu para bhikkhu senior bergiliran dalam memberikan nasihat kepada para bhikkhunī, tetapi Yang mulia Nandaka tidak mau menasihati mereka ketika gilirannya tiba.1 Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, giliran siapakah menasihati para bhikkhunī hari ini?”
“Yang Mulia, adalah giliran Yang Mulia Nandaka untuk menasihati para bhikkhunī, tetapi ia tidak mau menasihati mereka walaupun hari ini adalah gilirannya.”
4. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Nasihatilah para bhikkhunī, Nandaka. Berikanlah instruksi kepada para bhikkhunī, Nandaka. Babarkanlah khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī, Brahmana.”
“Baik, Yang Mulia,” [271] Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia bersama seorang teman pergi ke Taman Rājaka. Dari kejauhan para bhikkhunī melihat kedatangan Yang Mulia Nandaka dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Yang Mulia Nandaka duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kakinya. Para bhikkhunī bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhunī:
6. “Saudari-saudari, khotbah ini akan disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Jika kalian mengerti maka katakanlah: ‘Kami mengerti’; jika kalian tidak mengerti maka katakanlah: ‘Kami tidak mengerti’; jika kalian ragu-ragu atau bingung maka kalian harus bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia? Apakah makna dari hal ini?’”
“Yang Mulia, kami cukup puas dan senang dengan Guru Nandaka dalam hal bahwa ia mengundang kami bahkan hingga sejauh ini.”
6. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal.’”2
“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.
7. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk-bentuk … suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal.’”
“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.
8. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah kesadaran-mata … [273] … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam kelompok kesadaran ini adalah tidak kekal.’”
“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.
9. “Saudari-saudari, misalkan sebuah lampu minyak menyala: minyaknya tidak kekal dan tunduk pada perubahan; sumbunya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, apinya tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Selama lampu minyak ini menyala, maka minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi cahayanya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”
“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, Selama lampu minyak ini menyala, maka minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, jadi cahayanya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”
“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan internal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”
“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian,3 [274] dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”
“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.
10. “Saudari-saudari, misalkan sebatang pohon besar memiliki inti kayu: akarnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, batangnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dahan-dahannya dan dedaunannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dan bayangannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Akar, batang, dahan-dahan dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi bayangannya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”
“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, Akar, batang, dahan-dahan dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, jadi bayangannya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”
“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan eksternal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”
“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian, dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”
“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.
11. “Saudari-saudari, misalkan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi dan memotongnya dengan pisau daging yang tajam. Tanpa merusak daging bagian dalamnya dan tanpa merusak kulit luarnya, ia membelah, memotong, dan mencincang urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi dengan pisau daging yang tajam. [275] Kemudian setelah membelah, memotong, dan mencincang semua itu, ia menguliti kulit luarnya dan menutupnya lagi dengan kulit yang sama. apakah ia mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya’?”
“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi …dan membelah, memotong, dan mencincang semua itu, bahkan jika ia menutupnya lagi dengan kulit yang sama dan berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya,’ namun sapi itu tetap terlepas dari kulit itu.”
12. “Saudari-saudari, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Berikut ini adalah maknanya: ‘daging bagian dalam’ adalah sebutan untuk enam landasan internal. ‘Kulit luar’ adalah sebutan untuk enam landasan eksternal. ‘Urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi’ adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. ‘Pisau daging yang tajam’ adalah sebutan untuk kebijaksanaan mulia – kebijaksanaan mulia yang membelah, memotong, dan mencincang kekotoran-kekotoran bagian dalam, belenggu-belenggu, dan ikatan-ikatan.
13. “Saudari-saudari, ada tujuh faktor pencerahan ini4 yang melalui pengembangan dan pelatihannya seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Apakah tujuh ini? Di sini, Saudari-saudari, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ini adalah tujuh faktor pencerahan yang melalui pengembangan dan pelatihannya seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” [276]
14. Ketika Yang Mulia Nandaka telah memberikan nasihat kepada para bhikkhunī seperti itu, ia membubarkan mereka, dengan berkata: “Pergilah, saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Nandaka, pergi dengan Yang Mulia Nandaka tetap di sisi kanan mereka. Mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā memberitahu mereka: “Pergilah, saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.
15. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal empat belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas tidak penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka masih belum terpenuhi.”
16-26. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Baiklah, Nandaka, besok engkau juga harus memberikan nasihat kepada para bhikkhunī itu dengan cara yang persis sama.”
“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah … (ulangi kata demi kata §§4-14 di atas, hingga[277] … Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.
27. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal lima belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, dan kehendak mereka telah terpenuhi. Para bhikkhu, bahkan yang paling tidak maju di antara kelima ratus bhikkhunī itu adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”5
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Catatan Kaki
  1. Salah satu dari delapan peraturan penting yang ditetapkan oleh Sang Buddha ketika Beliau membentuk Sangha Bhikkhunī menetapkan bahwa setiap setengah bulan bhikkhunī harus memohon para bhikkhu untuk mengutus seorang bhikkhu dengan tujuan untuk memberikan nasihat. Menurut MA, dalam kehidupan lampaunya YM. Nandaka adalah seorang raja dan para bhikkhunī itu adalah selir-selirnya. Ia ingin menghindar dari gilirannya memberikan nasihat kepada para bhikkhunī karena ia berpikir bahwa bhikkhu lain yang memiliki pengetahuan kehidupan lampau, yang melihatnya memberikan nasihat dikelilingi oleh para bhikkhunī, akan berpikir bahwa ia masih tidak dapat memisahkan diri dari selir-selir lampaunya itu. Tetapi Sang Buddha melihat bahwa khotbah dari Nandaka kepada para bhikkhunī itu akan bermanfaat bagi mereka dan dengan demikian Beliau menyuruhnya memberikan instruksi kepada mereka. 
  2. MA: Mereka telah melihat hal ini dengan kebijaksanaan pandangan terang. 
  3. Tajjaṁ tajjaṁ paccayaṁ paṭicca tajjā tajjā vedanā uppajjanti. Pertemuan antara mata, bentuk-bentuk, dan kesadaran-mata adalah kontak-mata, dan ini adalah kondisi utama bagi munculnya perasaan yang muncul dari kontak-mata. Dengan lenyapnya mata, maka salah satu dari faktor-faktor yang bertanggung jawab atas kontak-mata dilenyapkan. Demikianlah kontak-mata lenyap, dan dengan lenyapnya kontak-mata maka perasaan yang muncul dari kontak-mata juga lenyap. 
  4. MA: Ia membabarkan ajaran tentang faktor-faktor pencerahan ini karena kebijaksanaan sendiri tidak mampu memotong kekotoran-kekotoran, tetapi hanya jika disertai dengan enam faktor pencerahan lainnya (kebijaksanaan adalah sama dengan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi). 
  5. MA: Ia yang menjadi yang terakhir sehubungan dengan kualitas-kualitas baik telah menjadi seorang pemasuk-arus, tetapi mereka yang memiliki kehendak untuk menjadi yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant masing-masing mencapai pemenuhan kehendak mereka. Karena hasil ini, Sang Buddha menyatakan YM. Nandaka sebagai bhikkhu terunggul dalam hal memberikan instruksi kepada para bhikkhunī. 

Karma JIgme

Instagram