Pages

MN 2 - Sabbāsava Sutta [ Segala Noda ]

Majjhima Nikāya


Sabbāsava Sutta


Segala Noda


Di terjemahkan dari pāḷi ke inggris oleh Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi

Di terjemahkan dari inggris ke indonesia oleh Dhammacita

Nara Sumber pāḷi

MN 1 MN 2 MN 3


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang pengendalian segala noda.1 [7] Dengarkanlah dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
3. “Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat, bukan untuk seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Yang mengetahui dan melihat apakah? Perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana.2 Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.
4. “Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.3
5. “Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?4 Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.5
6. “Apakah hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda penjelmaan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang ia perhatikan.6 Dan apakah hal-hal yang layak untuk diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda penjelmaan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. [8] Dengan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah.
7. “Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana: ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut: ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah makhluk ini akan pergi?’7
8. “Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya.8 Pandangan ‘ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak demikian, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut ini: ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’9 Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
9. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar dengan baik, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, [9] ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.
10. “Apakah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. Dan apakah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan. Dengan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, noda-noda yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.
11. “Ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’10Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti ini, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya: pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.11
12. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?12 Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata terkendali.13 Merenungkan dengan bijaksana, ia berdiam dengan indria telinga terkendali … dengan indria hidung terkendali … dengan indria lidah terkendali … dengan indria badan terkendali … dengan indria pikiran terkendali … Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria tidak terkendali, [10] sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.
13. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?14 Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.
14. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kemabukan juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’
15. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat tempat tinggal hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.
16. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan.
17. “Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menggunakannya seperti demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.
18. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar dan tidak ramah dan perasaan jasmani yang timbul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.
19. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tunggul pohon, [11] semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai,15 dan menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.
20. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak menolerir pikiran keinginan indria yang muncul; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya. Ia tidak menolerir pikiran bermusuhan yang muncul … Ia tidak menolerir pikiran kejam yang muncul … Ia tidak menolerir kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya.16 Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.
21. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.17 Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.18
22. “Para bhikkhu, ketika noda-noda yang oleh seorang bhikkhu harus ditinggalkan dengan melihat telah ditinggalkan dengan melihat, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan telah ditinggalkan dengan mengendalikan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan telah ditinggalkan dengan menggunakan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan telah ditinggalkan dengan menahankan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari [12] telah ditinggalkan dengan menghindari, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan telah ditinggalkan dengan melenyapkan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia telah mewujudkan akhir dari penderitaan.”19
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Catatan Kaki
  1. Noda-noda (āsava), pengelompokan kekotoran yang terdapat pada tingkat terdalam dan paling mendasar, dibahas dalam Pendahuluan, p.34. MA menjelaskan bahwa pengendalian (saṁvara) ada lima: melalui moralitas, perhatian, pengetahuan, kegigihan, dan kesabaran. Dalam sutta ini, pengendalian melalui moralitas diilustrasikan dengan menghindari tempat-tempat duduk dan tempat-tempat kunjungan yang tidak sesuai (§19); pengendalian melalui perhatian, dengan mengendalikan indria-indria (§12); pengendalian melalui pengetahuan, dengan pengulangan frasa “merenungkan dengan bijaksana”; pengendalian melalui kegigihan, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat (§20); dan pengendalian melalui kesabaran, dengan paragraf tentang menahankan (§18). 
  2. Perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) dikemas sebagai perhatian yang merupakan cara yang benar (upāya), di jalur yang benar (patha). Ini dijelaskan sebagai perhatian pikiran, pertimbangan, atau pemikiran yang sesuai dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai ketidak-kekalan, dan sebagainya. Perhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) adalah perhatian yang merupakan cara yang salah, di jalur yang salah (uppatha), berlawanan dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai kekekalan, menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan diri sebagai diri, dan apa yang menjijikkan sebagai indah. Perhatian tidak bijaksana, menurut MA, adalah akar dari lingkaran kehidupan, karena menyebabkan ketidak-tahuan dan ketagihan meningkat; perhatian bijaksana adalah akar dari kebebasan dari lingkaran, karena menuntun menuju pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. MA merangkum inti dari paragraf ini sebagai: hancurnya noda-noda adalah bagi seseorang yang mengetahui bagaimana meningkatkan perhatian bijaksana dan yang *melihat *sehingga perhatian tidak bijaksana tidak muncul. 
  3. Enam di antara ini – menghilangkan bagian noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat – disebutkan dalam tanya-jawab tentang noda-noda dalam AN 6:58/iii.387-90. 
  4. Kata “melihat” (dassana) di sini merujuk pada yang pertama dari empat jalan lokuttara – jalan memasuki-arus (sotāpattimagga) – disebut demikian karena memberikan penglihatan sepintas pada Nibbāna. Tiga jalan yang lebih tinggi disebut jalan pengembangan (bhāvanā) karena mengembangkan penglihatan Nibbāna hingga pada titik di mana semua kekotoran tersingkirkan. 
  5. MA menambahkan hal penting bahwa tidak ada ketetapan dalam segala sesuatu sehubungan dengan apakah layak atau tidak layak bagi perhatian. Perbedaannya terdapat, lebih kepada modus perhatian. Bahwa modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi pikiran yang tidak bermanfaat harus dihindari, sedangkan modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi yang bermanfaat harus dikembangkan. Prinsip yang sama ini berlaku juga pada §9. 
  6. MA mengilustrasikan pertumbuhan noda-noda melalui perhatian tidak bijaksana sebagai berikut: Ketika ia memperhatikan kepuasan dalam lima utas kenikmatan indria, noda-noda keinginan indria muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan kepuasan dalam kondisi-kondisi luhur (jhāna-jhāna), noda-noda penjelmaan muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan hal-hal lokiya apapun melalui empat “perlawanan” (dari kekekalan, dan sebagainya), noda-noda ketidak-tahuan muncul dan meningkat. 
  7. Menurut MA, paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan noda-noda pandangan (*diṭṭhāsava, *tidak disebutkan dalam khotbah) di bawah judul keragu-raguan. Akan tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa noda-noda pandangan, yang dijelaskan oleh §8, muncul dari perhatian tidak bijaksana dalam bentuk keragu-raguan. Berbagai jenis keragu-raguan telah dipenuhi dengan pandangan salah yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya. 
  8. Dari keenam pandangan ini, dua pertama mewakili paradox eternalisme dan pemusnahan; pandangan bahwa “tidak ada diri yang ada padaku” *bukanlah *doktrin bukan-diri dari Sang Buddha, melainkan pandangan materialis yang mengidentifikasikan seseorang sebagai jasmani dan dengan demikian menganut bahwa tidak ada kelanjutan diri setelah kematian. Tiga pandangan berikutnya dapat dimengerti muncul dari pengamatan yang secara filosofis lebih rumit bahwa pengalaman memiliki struktur reflektif yang menganggap kesadaran-diri, kapasitas pikiran untuk mengenali dirinya sendiri, isinya, dan jasmani yang saling terhubung dengannya. Menekuni pencarian “sifat sejati”-nya, orang biasa yang tidak terpelajar akan mengidentifikasikan diri sebagai kedua aspek pengalaman (pandangan 3), atau sebagai si pengamat saja (pandangan 4), atau sebagai yang diamati saja (pandangan 5). Pandangan terakhir adalah versi lengkap dari eternalisme dengan semua batasan telah dihilangkan. 
  9. Diri sebagai pembicara mewakili konsep diri sebagai pelaku perbuatan; diri sebagai yang merasakan, konsep diri sebagai subjek pasif. “Di sana-sini” menyiratkan diri sebagai entitas yang berpindah yang mempertahankan identitasnya di sepanjang kelahiran yang berbeda berturut-turut. Pandangan yang sama dianut oleh Bhikkhu Sāti pada MN 38.2. 
  10. Ini, tentu saja, adalah formula Empat Kebenaran Mulia, yang diperlakukan sebagai subjek perenungan dan pandangan terang. MA mengatakan bahwa hingga pencapaian jalan memasuki-arus, perhatian adalah pandangan terang (vipassanā), tetapi pada momen sang jalan, perhatian adalah pengetahuan-jalan. Pandangan terang secara langsung memahami dua buah pertama, karena wilayah sasarannya adalah fenomena batin dan materi yang terdapat dalam dukkha dan asal-mulanya; pandangan terang ini dapat mengetahui kedua kebenaran berikutnya hanya dengan cara menyimpulkan. Pengetahuan-jalan menjadikan kebenaran lenyapnya sebagai objeknya, memahaminya dengan penembusan sebagai objek (ārammaṇa). Pengetahuan-jalan melakukan empat fungsi sehubungan dengan Empat Kebenaran: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan asal-mula penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan. 
  11. Jalan memasuki-arus berfungsi memotong ketiga belenggu pertama yang mengikat pada saṁsāra. MA mengatakan bahwa pandangan identitas dan keterikatan pada ritual dan upacara, karena termasuk pada noda-noda pandangan, adalah noda sekaligus belenggu, sedangkan keragu-raguan (biasanya) dikelompokkan hanya sebagai belenggu; tetapi karena termasuk di sini di antara “noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat,” maka dikatakan sebagai sebuah noda. 
  12. Jika ditinggalkannya noda-noda dipahami dalam makna tepat sebagai kehancuran tertinggi, maka hanya dua dari tujuh metode yang disebutkan dalam sutta ini yang berdampak pada ditinggalkannya – melihat dan mengembangkan – yang di antaranya terdapat empat jalan lokuttara. Kelima metode lainnya tidak dapat secara langsung memenuhi kehancuran noda-noda, tetapi dapat mengendalikannya selama pada tahap persiapan praktik dan karenanya memfasilitasi pembasmian pada akhirnya oleh jalan lokuttara. 
  13. Faktor utama yang bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian indria ini adalah perhatian. Formula yang lebih lengkap atas pengendalian indria diberikan dalam banyak sutta lainnya – misalnya, MN 27.15 – dan dianalisa secara terperinci pada Vsm I, 53-59. MA menjelaskan “demam” (pariḷāha) dalam paragraf di atas sebagai demam kekotoran dan akibat (kamma)-nya. 
  14. Paragraf yang mengikuti di sini telah menjadi formula standard yang digunakan oleh para bhikkhu dalam perenungan sehari-hari mereka terhadap empat kebutuhan dalam kehidupan suci. Empat ini dijelaskan secara terperinci dalam Vsm I, 85-97. 
  15. Tempat-tempat duduk yang tidak layak ada dua jenis disebutkan dalam Pātimokkha – duduk bersama dengan seorang perempuan di tempat duduk bertirai yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, dan duduk berduaan dengan seorang perempuan di tempat pribadi. Berbagai jenis tempat yang tidak layak disebutkan dalam Vsm I, 45. 
  16. Ketiga jenis pertama dari pikiran tidak bermanfaat – keinginan indria, permusuhan, dan kekejaman – merupakan pikiran salah atau kehendak salah, lawan dari faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketiga jenis pikiran salah dan lawannya ini dibahas secara lebih lengkap dalam MN 19. 
  17. Terdapat tujuh faktor pencerahan sempurna (satta bojjhangā) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh persyaratan pencerahan, dan dibahas secara lebih luas di bawah pada MN 10.42 dan MN 118.29-40. Bagian ini menjelaskan tujuh faktor pencerahan sempurna secara khusus sebagai bantuan untuk mengembangkan ketiga jalan lokuttara yang lebih tinggi, yang dengannya noda-noda yang lolos dari pencabutan oleh jalan pertama akan tercabut. Kata “keterasingan” (viveka), “kebosanan” (virāga), dan “lenyapnya” (nirodha) semuanya dapat dipahami sebagai merujuk pada Nibbāna. Penggunaan kata-kata itu dalam konteks ini menyiratkan bahwa pengembangan faktor-faktor pencerahan mengarah pada Nibbāna sebagai tujuannya selama tahap-tahap persiapan sang jalan, dan sebagai objeknya dengan pencapaian jalan lokuttara. MA menjelaskan bahwa kata vossaga, diterjemahkan sebagai “pelepasan,” memiliki dua makna “menghentikan” (pariccāga), yaitu, ditinggalkannya kekotoran, dan “memasuki” (pakkhandana), yaitu, memuncak pada Nibbāna. 
  18. Noda keinginan indria dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali, noda penjelmaan dan ketidak-tahuan hanya melalui jalan terakhir, Kearahattaan. 
  19. Sepuluh belenggu harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan sepenuhnya telah diuraikan dalam Pendahuluan, hal.46. Keangkuhan, pada tingkat yang paling halus, adalah keangkuhan “aku,” yang bertahan di dalam rangkaian batin hingga pencapaian Kearahattaan. “Penembusan keangkuhan” (mānābhisamaya) berarti melihat menembus keangkuhan dan meninggalkannya, yang keduanya tercapai bersamaan melalui jalan Kearahattaan. Bhikkhu itu telah “mengakhiri penderitaan” dalam makna bahwa ia telah mengakhiri penderitaan dalam lingkaran saṁsāra (vaṭṭadukkha).

Karma JIgme

Instagram